Di antara fenomena umum yang kita temui dalam kehidupan
sehari-hari, adalah fenomena pujian. Secara garis besar, pujian
bisa diklasifikasikan dalam tiga bentuk: pujian yang diucapkan
untuk menjilat, pujian yang sifatnya hanya basa-basi belaka, serta
pujian yang diucapkan sebagai ekspresi kekaguman.
Bila disikapi secara sehat dan proporsional, pujian bisa menjadi
élan positif yang dapat memotivasi kita agar terus meningkatkan
diri. Namun, kenyataannya, pujian justru lebih sering membuat
kita lupa daratan, lepas kontrol, dan seterusnya. Semakin sering
orang lain memuji kita, maka semakin besar potensi kita untuk
terlena, besar kepala, serta hilang kendali diri. Padahal Allah Swt.
mengingatkan dalam firmanNya:
الف اوّكَزُت مكسفنأ، وه ملعأ نمب ىقتا .
"Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang
paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Najm; 32)
Agar dapat menyikapi pujian secara sehat, Nabi Saw. memberikan
tiga kiat yang sangat menarik untuk diteladani.
Pertama, selalu mawas diri supaya tidak sampai terbuai oleh
pujian yang dikatakan orang. Oleh karena itu, setiap kali ada yang
memuji beliau, Nabi Saw. menanggapinya dengan doa:
مهللا ينذخاؤتال امب نولوقي
“Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan
oleh orang-orang itu.” (HR. Al-Bukhari)
Lewat doa ini, Nabi Saw. mengajarkan bahwa pujian adalah
perkataan orang lain yang potensial menjerumuskan kita.
Ibaratnya, orang lain yang mengupas nangka, tapi kita yang kena
getahnya. Orang lain yang melontarkan ucapan, tapi malah kita
yang terjerumus menjadi besar kepala dan lepas kontrol.
Kedua, menyadari hakikat pujian sebagai topeng dari sisi gelap kita
yang tidak diketahui orang lain. Karena, sebenarnya, setiap
manusia pasti memiliki sisi gelap. Dan ketika ada seseorang yang
memuji kita, maka itu lebih karena faktor ketidaktahuan dia akan
belang serta sisi gelap kita.
Oleh sebab itu, kiat Nabi Saw. dalam menanggapi pujian adalah
dengan berdoa:
يلرفغاو ام نوملعيال
“Dan ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari
diriku)”. (HR. Al-Bukhari)
Dan kiat yang ketiga, kalaupun sisi baik yang dikatakan orang lain
tentang kita adalah benar adanya, Nabi Saw. mengajarkan kita
agar memohon kepada Allah Swt. untuk dijadikan lebih baik dari
apa yang tampak di mata orang lain. Maka kalau mendengar
pujian seperti ini, Nabi Saw. kemudian berdoa:
ينْلعجاو اريخ اّمم نوّنظي
“Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira”. (HR.
Al-Bukhari)
Selain memberikan teladan kiat menyikapi pujian, Nabi Saw.
dalam keseharian beliau juga memberikan contoh bagaimana
mengemas pujian yang baik. Intinya, jangan sampai pujian yang
terkadang secara spontan keluar dari bibir kita, malah
menjerumuskan dan merusak kepribadian sahabat yang kita puji.
Ada beberapa teladan yang dapat disarikan dari kehidupan Nabi
Saw., yaitu di antaranya:
Pertama, Nabi Saw. tidak memuji di hadapan orang yang
bersangkutan secara langsung, tapi di depan orang-orang lain
dengan tujuan memotivasi mereka. Suatu hari, seorang Badui
yang baru masuk Islam bertanya tentang Islam. Nabi menjawab
bahwa Islam adalah shalat lima waktu, puasa, dan zakat. Maka
Orang Badui itupun berjanji untuk menjalankan ketiganya dengan
konsisten, tanpa menambahi atau menguranginya. Setelah Si
Badui pergi, Nabi Saw. memujinya di hadapan para Sahabat,
“Sungguh beruntung kalau ia benar-benar melakukan janjinya
tadi.” Setelah itu beliau menambahi, “Barangsiapa yang ingin
melihat penghuni surga, maka lihatlah Orang (Badui) tadi.” (HR. Al-
Bukhari dan Muslim, dari Thalhah ra.)
Kedua, Nabi Saw. lebih sering melontarkan pujian dalan bentuk
doa. Ketika melihat minat dan ketekunan Ibn Abbas ra. dalam
mendalami tafsir Al-Qur’an, Nabi Saw. tidak serta merta memujinya.
Beliau lebih memilih untuk mendoakan Ibn Abbas ra.:
مهللا هْهّقف يف نيدلا هْمّلعو ليوأتلا
“Ya Allah, jadikanlah dia ahli dalam ilmu agama dan ajarilah dia
ilmu tafsir (Al-Qur’an).” (HR. Al-Hakim, dari Sa’id bin Jubair)
Begitu pula, di saat Nabi Saw. melihat ketekunan Abu Hurairah ra. dalam
mengumpulkan hadits dan menghafalnya, beliau lantas berdoa
agar Abu Hurairah ra. dikaruniai kemampuan untuk tidak lupa apa
yang pernah dihapalnya. Doa inilah yang kemudian dikabulkan
oleh Allah Swt. dan menjadikan Abu Hurairah ra. sebagai Sahabat
yang paling banyak meriwayatkan hadits.
Pujian yang dilontarkan orang lain terhadap diri kita, merupakan
salah satu tantangan berat yang dapat merusak kepribadian kita.
Pujian dapat membunuh karakter seseorang, tanpa ia sadari. Oleh
karena itu, ketika seorang Sahabat memuji Sahabat yang lain
secara langsung, Nabi Saw. menegurnya:
تعطق قنع كبحاص
“Kamu telah memenggal leher temanmu.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim, dari Abu Bakar ra.)
Senada dengan hadits tersebut, Ali ra. berkata dalam ungkapan
hikmahnya yang sangat populer, “Kalau ada yang memuji kamu
di hadapanmu, akan lebih baik bila kamu melumuri mulutnya
dengan debu, daripada kamu terbuai oleh pujiannya.”
Namun ketika pujian sudah menjadi fenomena umum ditengah-
tengah masyarakat kita, maka yang paling penting adalah
bagaimana menyikapi setiap pujian secara sehat agar tidak sampai
lupa daratan dan lepas kontrol; mengapresiasi setiap pujian hanya
sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain;
serta terus berdoa kpd Allah Swt. agar dijadikan lebih baik dari
apa yang tampak di mata orang.
Selain itu, yg tidak kalah pentingnya, kalaupun perlu memuji
seseorang adalah bagaimana bisa mengemas pujian secara sehat.
Toh memuji tidak mesti dengan kata-kata, tapi akan lebih berarti
bila diekspresikan lewat dukungan dan doa. Sehingga dengan
demikian, kita tidak sampai menjerumuskan org yang kita puji.
Sumber lengkapnya : klik disini
Posting Komentar